“ARAFAH” TENTANG PERSEMBAHAN DOSADAN HARAPAN

Hati merujuk gelisah tatkala hari yang dinantikan semakin mendekat. Jam demi jam berlalu, degup dada semakin kencang. Berbagai persiapan dilakukan, termasuk pendataan jamaah lansia dan berisiko tinggi yang tergabung dalam tiga program: jamaah reguler, jamaah murur, dan jamaah safari wukuf. Di kamar terpojok di lantai 6 dengan nomor 13, beberapa anggota pengurus kloter sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Telepon tidak berhenti berdering dari jamaah, anggota karu, karom, pembimbing ibadah, sektor, dan maktab. Informasi yang simpang siur tidak menghasilkan keputusan final karena tidak ada sinkronisasi mengenai waktu pemberangkatan menuju Arafah. Akhirnya, saya mendapat informasi dari KABID TRANSPORTASI KEMENAG PUSAT, Saudara Mujib Roni, bahwa bus menuju Arafah tidak akan melalui sistem qurah melainkan pembagian trip.
Sehari sebelum keputusan final, hati semakin gelisah. Ini adalah puncak haji, di mana seluruh masyarakat Muslim sedunia berkumpul di tempat dan waktu yang sama. Muncul informasi bahwa kami akan diberangkatkan pada trip awal, yaitu jam 07.00 WAS, namun belum final. Akhirnya, jam 01.00 dini hari WAS, dipastikan bahwa sistem qurah tidak digunakan, dan kami akan berangkat paling akhir. Pertimbangan pun muncul karena jika berangkat paling akhir, kami tidak bisa langsung melempar jumrah aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah sesuai waktu yang disarankan pemerintah. Informasi terus kami dapatkan hingga lepas salat Jumat, trip awal belum sepenuhnya selesai, dan kami menghitung mundur karena sebagian kawan sudah berada di Mina untuk melaksanakan mabit. Akhirnya, lepas salat Maghrib, kami benar-benar baru diberangkatkan ke Arafah.
Lantunan talbiyah terus menggema di perjalanan. Banyak anggota keamanan memberhentikan kendaraan untuk mengecek keaslian jamaah. Ya Allah, kemacetan padat, ini adalah kuasa-Mu, ya Rabb… jutaan manusia menjadi satu padu memutih di bumi Arafah. Sesampai di Arafah, tim kloter dan tim kesehatan mulai menata tempat jamaah agar bisa beristirahat. Makanan dan minuman seakan tidak pernah berkurang di Arafah, jamaah dimanjakan oleh pengelola haji walaupun tempat terbatas. Waktu terus berlalu, hingga kami melewati hari Tarwiyah dan masuk hari Arafah. Degup dada semakin kencang saat pukul 10.00 WAS, saya mengumumkan agar segera mengambil wudhu dan membangunkan yang tidur karena terbatasnya akses toilet di Arafah. Begitu jam 11.45 WAS, kami menyambut datangnya para malaikat Allah yang turun ke bumi untuk membawa doa-doa jamaah haji dengan lantunan talbiyah dan shalawat… “Labaik Allahumma labaik”… kami sambut panggilan-Mu ya Rabb… kami adalah insan yang beruntung dari jutaan umat-Mu… kami yang Engkau pilih. Air mata pun menetes deras.
Pukul 11.20 waktu Dzuhur tiba. Bapak Haji Prawoto mengumandangkan adzan khasnya, disusul dengan khutbah wukuf dari tim pembimbing ibadah, yaitu KH Muhtadi. Kurang lebih 30 menit khutbah wukuf itu yang terus melinangkan air mata karena berisi tentang dosa-dosa kita, tentang ayah dan ibu kita, dan tentang rasa syukur kita. Semua dikupas dalam khutbah wukuf siang itu. Air mata tak berhenti menetes saat menyimak khutbah wukuf. Di akhir khutbah, ditutup dengan salat berjamaah jamak takdim Dzuhur dan Ashar. Lepas salat tersebut, cuaca semakin panas menembus 47 derajat Celsius, saya beberapa kali mengambil air es untuk mengguyur kepala dan badan. Pukul 15.00, saya berdoa di luar tenda. Tangisan tentang dosa, semua seperti adegan film yang terputar kembali… tentang orang tua yang tak henti saya panjatkan doa agar diampuni segala dosanya… begitu juga kepada guru-guru saya… semua terlintas. Keluarga, sahabat, dan kawan-kawan semua yang terlintas tersebutkan di bumi yang penuh anugerah dan ampunan saat itu. Seraya memohon ampun dan berharap diberikan kemudahan dan jalan terbaik, di situ terlantun harapan yang begitu besar untuk kembali ke Arafah kelak bersama istri hamba.
Tibalah saatnya kami meninggalkan Arafah. Kuasa Allah terjadi, yang awalnya kami di trip terakhir, ternyata diberangkatkan dengan trip awal menuju Muzdalifah. Saat tas kami jinjing, air mata ini meleleh deras… selamat tinggal Arafah… bumi penuh ampunan… datangkan kami ya Rabb dengan waktu Arafah yang lain di bumi yang sama bersama istri hamba. Amin yaa robbal alamin.
Bumi Arafah, 10 Dzulhijah 1445H
H. Mahrizal Luthfi Bahari